Time flies so fucking fast. Hari ini habis rapor. Dan
seperti yang kalian tahu betapa pengennya gua cepat-cepat mengakhiri masa kelas
X dan segera naik ke kelas XI. Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena gua
ingin berpisah dengan beberapa mata pelajaran yang...... gua sudah sangat malas
untuk memelajarinya. Sebut saja fisika,
kimia, dan biologi. Yup gua masuk jurusan IPS. Nggak, gua masuk IPS bukan
hanya untuk escape dari pelajaran-pelajaran tersebut. Gua masuk IPS
karena.......... minat. That’s what it’s all about, right? Peminatan. Selain
itu, gua pengen kuliah jurusan yang emang jurusan murni IPS. Sebut saja Hubungan Internasional, Kriminologi,
Sosiologi, Ilmu Sejarah, Antropologi, Arkeologi, Sastra Indonesia, dan Sastra
Perancis. Meskipun gua tau pas SNMPTN nanti gua gak bisa milih segitu
banyak jurusan but i have plenty of times to figure that out.
Kembali lagi ke kelas sepuluh. Selama ini gua udah mencoba
bertahan untuk mengikuti proses belajar mengajar dalam beberapa mata pelajaran
dengan sebaik-baiknya. Contohnya Kimia.
Guru gua suka banget manggil nama-nama anak di kelas untuk maju ke depan terus
ngerjain soal. You know me so well, lah. Gua itu orangnya males belajar,
apalagi bab baru. Suatu Bab yang diawalnya aja udah males gua pelajarin, akan
membawa gua ke ketidak-mengerti-an yang sangat menyulitkan. Kayak bab
hidrokarbon. Di awal bab aja gua udah gak punya minat untuk memelajari bab ini
dan ketika orang-orang udah mulai bisa mengerjakan soal kayak pemberian nama
senyawa hidrokarbon, Alkana, Alkena, dan Alkuna, dll. Gua masih bertanya “Ini
bab-nya tentang apa sih?” Dan, sampailah gua di suatu hari Kamis (atau Rabu,
karena pelajaran Kimia ada di hari Rabu dan Kamis) gua dipanggil guru Kimia
untuk maju ke depan. Gua yang masih sangat lugu (sebut saja lugu, instead of
pemalas) dan tau dikit-dikit tentang materi maju ke depan. Kalian pasti bisalah
menebak apa yang terjadi selanjutnya.
Di pelajaran Kimia ini pulalah gua selalu bergumam kepada
diri sendiri (atau kepada seorang teman yang duduk di belakang gua), “Please
pak jangan panggil nama saya please.....” selama hampir satu tahun.
Di sekolah gua ada kebiasaan di mana kelas IPS hanya ada
satu kelas satu angkatan. Jadi, siapapun yang pengen masuk IPS, pasti akan
ditempatkan di kelas yang sama. Senang rasanya ketika ngedenger temen-temen
deket lo (yang berasal dari kelas X berbeda) pengen masuk IPS juga. I mean,
KITA BISA SEKELAS DUH THAT’S COOL. Sebut saja namanya Pute, dia dari kelas X,
temen deket gua. Dia juga berencana masuk IPS, bahkan pengen kuliah jurusan
Kriminologi, sama kayak gua. Mendengar hal ini, gua dan Saida (temen deket gua
yang lain, sekelas sm gua di kelas X dan berniat masuk IPS juga karena pengen
jadi polwan) kegirangan sampe mati dan udah gak sabar pengen naik kelas sebelas
a.k.a tempat di mana kita bisa duduk manis di sebuah kelas yang sama tanpa
bayang-bayang mata pelajaran yang tidak kita suka.
But harkos is everywhere, my friend. Pute, setelah
berdiskusi bersama orangtuanya, akhirnya berubah pikiran. Dia masuk jurusan
IPA. Ya, taulah rasanya kayak gimana. But that’s what a friend for, huh? Kita
harus support dia no matter what. Toh kita masih ada di sekolah yang sama. Yang
jelas kegirangan gua sama Saida masih membara karena kita sudah benar-benar
lelah sama pelajaran ‘itu’.
Bicara mengenai ini semua, kita sih udah mempersiapkan
segala sesuatu yang berbau ke-Universitas-an sejak dini karena tuntutan. Let’s
say, sekarang SNMPTN undangan aja berdasarkan nilai rapor dari semester satu
sampai lima. Dari awal masuk SMA, yang katanya masa ‘leha-leha dulu’ kita harus
udah berjuang mertahanin nilai buat SNMPTN undangan. Itulah sebabnya banyak
banget obrolan sejenis “Eh gua nilai pelajaran ini segini, gimana cara
naikinnya ya?” atau “Nilai ini gua semoga gak terlalu gede biar gampang naikinnya”
atau “Ih nilai pelajaran ini semester ini menurun”
Gua tau, kita semua tau bahwa ini membosankan. I mean, kita
sekolah hanya untuk mengejar nilai buat dapet SNMPTN undangan. Bahkan dari
kelas X, masa di mana seharusnya kita bisa berleha-leha dulu menikmati
tugas-tugas yang ada. Tapi sekolah tau, meskipun kita, sebut saja menderita
meskipun masih kelas X, kita pasti bisaa menikmati hasilnya di masa mendatang
melalui SNMPTN, yang mana diinginkan oleh hampir semua anak SMA.
Kalau gua membayangkan diri gua beberapa puluh tahun ke
depan, meskipun gua tau gua seharusnya membayangkan karena akan sangat sakit
apabila ini semua hanya tetap menjadi ‘bayangan’. Tapi apa salahnya bermimpi,
mari buat ini sebagai acuan.
Yang pertama, gua membayangkan diri gua tinggal di Amerika.
Punya istri orang Amerika, punya satu (atau dua) anak yang sangat lucu-lucu. Di
imajinasi ini gua bekerja di kedutaan besar republik Indonesia untuk Amerika
Serikat atau kerja di PBB. Atau gua jadi seorang ahli Sosiologi yang
melanjutkan studinya di luar negeri. Balik ke Indonesia, jadi dosen di
Universitas tempat gua dulunya kuliah. Menjadi Kriminolog itu sepertinya seru,
kawan. Entah apa yang bisa gua bayangkan dengan menjadi Kriminolog (karena gua
gak tau pekerjaannya seperti apa) tapi gua membayangkan Kriminolog sebagai
seorang ahli yang sering nongol di tv terus ditanyain perihal Kriminalitas. Ada
juga bayangan gua akan menjadi seorang Arkeolog yang bekerja entah di instansi
bernama apa yang bersama timnya, berkeliling dunia mencaari fosil-fosil yang
nantinya akan tercatat oleh sejarah dan tentunya, akan menambah materi di
buku-buku paket anak SMA. Yang terakhir, gua menjadi seorang translator bahasa
Prancis, atau seorang editor, ngasih deadline ke penulis, baca novel-novel
keren lebih dulu daripada yang lain, ya, hal-hal yang biasa dilakukan oleh
seorang editor.
Gua tau menulis (membayangkan) tentang masa depan itu sangat
berisiko. Karena gak semua mimpi itu bisa tercapai. Ada tiga kemungkinan.
Pertama, gua akan menangis kejer apabila suatu saat nanti gua baca post ini dan
menyadari gak ada satupun dari mimpi gua yang tercapai. Kedua, gua akan
cekikikan membaca post ini di masa depan nanti sambil ditemani anak-anak dan
istri di kolam renang di belakang rumah sambil menikmati musim panas. Ketiga,
gua membaca post ini, dan juga akan akan cekikikan, tapi karena melihat betapa
banyaknya mimpi gua pas masih muda tetapi akhirnya gua bahagia di sana,
menikmati pekerjaan yang gua punya, yang tentunya menurut Tuhan itulah yang
terbaik bagi gua.
Ngomongin masa depan itu tiada habisnya, memang. Gak kerasa
udah 900+ kata (menurut program pengolah kata yang gua pake) dan gua yakin, gak
ada satupun dari kalian yang baca (atau peduli) tapi gak apa-apa, gua akan
membaca post ini lagi di masa depan. Atau setidaknya, menjadi acuan bagi gua
untuk melanjutkan hidup dan meraih semua mimpi yang gua punya, ketika gua
mengalami krisis percaya diri. Karena sesungguhnya, Tuhan yang membuat garis
takdir, tapi kita yang memilih jalannya. As cliché as it sounds, there’s a will,
there’s a way.