June 25, 2013

how time flies


Time flies so fucking fast. Hari ini habis rapor. Dan seperti yang kalian tahu betapa pengennya gua cepat-cepat mengakhiri masa kelas X dan segera naik ke kelas XI. Hal itu tidak lain dan tidak bukan karena gua ingin berpisah dengan beberapa mata pelajaran yang...... gua sudah sangat malas untuk memelajarinya. Sebut saja fisika, kimia, dan biologi. Yup gua masuk jurusan IPS. Nggak, gua masuk IPS bukan hanya untuk escape dari pelajaran-pelajaran tersebut. Gua masuk IPS karena.......... minat. That’s what it’s all about, right? Peminatan. Selain itu, gua pengen kuliah jurusan yang emang jurusan murni IPS. Sebut saja Hubungan Internasional, Kriminologi, Sosiologi, Ilmu Sejarah, Antropologi, Arkeologi, Sastra Indonesia, dan Sastra Perancis. Meskipun gua tau pas SNMPTN nanti gua gak bisa milih segitu banyak jurusan but i have plenty of times to figure that out.
Kembali lagi ke kelas sepuluh. Selama ini gua udah mencoba bertahan untuk mengikuti proses belajar mengajar dalam beberapa mata pelajaran dengan sebaik-baiknya. Contohnya Kimia. Guru gua suka banget manggil nama-nama anak di kelas untuk maju ke depan terus ngerjain soal. You know me so well, lah. Gua itu orangnya males belajar, apalagi bab baru. Suatu Bab yang diawalnya aja udah males gua pelajarin, akan membawa gua ke ketidak-mengerti-an yang sangat menyulitkan. Kayak bab hidrokarbon. Di awal bab aja gua udah gak punya minat untuk memelajari bab ini dan ketika orang-orang udah mulai bisa mengerjakan soal kayak pemberian nama senyawa hidrokarbon, Alkana, Alkena, dan Alkuna, dll. Gua masih bertanya “Ini bab-nya tentang apa sih?” Dan, sampailah gua di suatu hari Kamis (atau Rabu, karena pelajaran Kimia ada di hari Rabu dan Kamis) gua dipanggil guru Kimia untuk maju ke depan. Gua yang masih sangat lugu (sebut saja lugu, instead of pemalas) dan tau dikit-dikit tentang materi maju ke depan. Kalian pasti bisalah menebak apa yang terjadi selanjutnya.

Di pelajaran Kimia ini pulalah gua selalu bergumam kepada diri sendiri (atau kepada seorang teman yang duduk di belakang gua), “Please pak jangan panggil nama saya please.....” selama hampir satu tahun. 

Di sekolah gua ada kebiasaan di mana kelas IPS hanya ada satu kelas satu angkatan. Jadi, siapapun yang pengen masuk IPS, pasti akan ditempatkan di kelas yang sama. Senang rasanya ketika ngedenger temen-temen deket lo (yang berasal dari kelas X berbeda) pengen masuk IPS juga. I mean, KITA BISA SEKELAS DUH THAT’S COOL. Sebut saja namanya Pute, dia dari kelas X, temen deket gua. Dia juga berencana masuk IPS, bahkan pengen kuliah jurusan Kriminologi, sama kayak gua. Mendengar hal ini, gua dan Saida (temen deket gua yang lain, sekelas sm gua di kelas X dan berniat masuk IPS juga karena pengen jadi polwan) kegirangan sampe mati dan udah gak sabar pengen naik kelas sebelas a.k.a tempat di mana kita bisa duduk manis di sebuah kelas yang sama tanpa bayang-bayang mata pelajaran yang tidak kita suka.

But harkos is everywhere, my friend. Pute, setelah berdiskusi bersama orangtuanya, akhirnya berubah pikiran. Dia masuk jurusan IPA. Ya, taulah rasanya kayak gimana. But that’s what a friend for, huh? Kita harus support dia no matter what. Toh kita masih ada di sekolah yang sama. Yang jelas kegirangan gua sama Saida masih membara karena kita sudah benar-benar lelah sama pelajaran ‘itu’.
Bicara mengenai ini semua, kita sih udah mempersiapkan segala sesuatu yang berbau ke-Universitas-an sejak dini karena tuntutan. Let’s say, sekarang SNMPTN undangan aja berdasarkan nilai rapor dari semester satu sampai lima. Dari awal masuk SMA, yang katanya masa ‘leha-leha dulu’ kita harus udah berjuang mertahanin nilai buat SNMPTN undangan. Itulah sebabnya banyak banget obrolan sejenis “Eh gua nilai pelajaran ini segini, gimana cara naikinnya ya?” atau “Nilai ini gua semoga gak terlalu gede biar gampang naikinnya” atau “Ih nilai pelajaran ini semester ini menurun”

Gua tau, kita semua tau bahwa ini membosankan. I mean, kita sekolah hanya untuk mengejar nilai buat dapet SNMPTN undangan. Bahkan dari kelas X, masa di mana seharusnya kita bisa berleha-leha dulu menikmati tugas-tugas yang ada. Tapi sekolah tau, meskipun kita, sebut saja menderita meskipun masih kelas X, kita pasti bisaa menikmati hasilnya di masa mendatang melalui SNMPTN, yang mana diinginkan oleh hampir semua anak SMA.

Kalau gua membayangkan diri gua beberapa puluh tahun ke depan, meskipun gua tau gua seharusnya membayangkan karena akan sangat sakit apabila ini semua hanya tetap menjadi ‘bayangan’. Tapi apa salahnya bermimpi, mari buat ini sebagai acuan.

Yang pertama, gua membayangkan diri gua tinggal di Amerika. Punya istri orang Amerika, punya satu (atau dua) anak yang sangat lucu-lucu. Di imajinasi ini gua bekerja di kedutaan besar republik Indonesia untuk Amerika Serikat atau kerja di PBB. Atau gua jadi seorang ahli Sosiologi yang melanjutkan studinya di luar negeri. Balik ke Indonesia, jadi dosen di Universitas tempat gua dulunya kuliah. Menjadi Kriminolog itu sepertinya seru, kawan. Entah apa yang bisa gua bayangkan dengan menjadi Kriminolog (karena gua gak tau pekerjaannya seperti apa) tapi gua membayangkan Kriminolog sebagai seorang ahli yang sering nongol di tv terus ditanyain perihal Kriminalitas. Ada juga bayangan gua akan menjadi seorang Arkeolog yang bekerja entah di instansi bernama apa yang bersama timnya, berkeliling dunia mencaari fosil-fosil yang nantinya akan tercatat oleh sejarah dan tentunya, akan menambah materi di buku-buku paket anak SMA. Yang terakhir, gua menjadi seorang translator bahasa Prancis, atau seorang editor, ngasih deadline ke penulis, baca novel-novel keren lebih dulu daripada yang lain, ya, hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang editor.

Gua tau menulis (membayangkan) tentang masa depan itu sangat berisiko. Karena gak semua mimpi itu bisa tercapai. Ada tiga kemungkinan. Pertama, gua akan menangis kejer apabila suatu saat nanti gua baca post ini dan menyadari gak ada satupun dari mimpi gua yang tercapai. Kedua, gua akan cekikikan membaca post ini di masa depan nanti sambil ditemani anak-anak dan istri di kolam renang di belakang rumah sambil menikmati musim panas. Ketiga, gua membaca post ini, dan juga akan akan cekikikan, tapi karena melihat betapa banyaknya mimpi gua pas masih muda tetapi akhirnya gua bahagia di sana, menikmati pekerjaan yang gua punya, yang tentunya menurut Tuhan itulah yang terbaik bagi gua.

Ngomongin masa depan itu tiada habisnya, memang. Gak kerasa udah 900+ kata (menurut program pengolah kata yang gua pake) dan gua yakin, gak ada satupun dari kalian yang baca (atau peduli) tapi gak apa-apa, gua akan membaca post ini lagi di masa depan. Atau setidaknya, menjadi acuan bagi gua untuk melanjutkan hidup dan meraih semua mimpi yang gua punya, ketika gua mengalami krisis percaya diri. Karena sesungguhnya, Tuhan yang membuat garis takdir, tapi kita yang memilih jalannya. As cliché as it sounds, there’s a will, there’s a way.